Kehadiran Notaris sebagai Pejabat Publik adalah jawaban dari kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum atas setiap perikatan-perikatan yang mereka lakukan, tentunya perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha perdagangan. Notaris adalah satu-satunya pejabat yang diberi wewenang umum untuk membuat akta perikatan, selagi belum ada Undang-Undang yang mengatur perihal pembuatan akta tertentu dengan pejabat khusus di luar Notaris. Seperti Pejabat Pembuat Akta Tannah (PPAT) misalnya.
Sebelum berlakunya undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau yang sering disingkat UUJN, peraturan jabatan notaris masih bersifat kolonial dan tidak terkodifikasi dengan baik. Adalah Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia) sebagaimana diatur dalam Staatsblad No.1860:3 yang menjadi peraturan jabatannya.[1]
Tentu saja kehadiran UUJN menjadi babak baru dalam dunia Notariatan yang sedang memasuki babak baru karena Notariatan terlihat semakin kokoh menapakan diri sebagai kajian otonom dari Ilmu Hukum. Hingga selanjutnya lebih akan dikenal dengan sebutan Hukum Kenotariatan.
Seperti yang diungkapkan A. Pitlo bahwa kajian Hukum Kenotariat semakin terlihat karena muncul istilah-istilah khas dari kajiannya, seperti penghadap (comparant), pihak (partij), peresmian akta (verlijden), dan sebagainya, yang semuanya hanya dikenal dalam khas Hukum Notariat, dan juga perhatian diberikan kepada peraturan-peraturan tentang cara membuat akta, yaitu tentang keharusan notaris membacakan akta tersebut didepan penghadap sebelum akta ditandatangani.[2]
Barulah di tanggal 6 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Diundangkannya UUJN ini tentu saja disambut baik oleh kalangan Ilmu Hukum, Hukum Notariat, dan masyarakat pada umumnya terlebih lagi mereka yang biasa menggunakan layanan dari notaris. Sambutan tersebut adalah wujud kegembiraan karena Notariat, dalam posisi Pejabat Notaris dan Hukum Notaris secara umum kini lebih efisien menuju kodifikasi yang positif. Karena pada pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi:
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris,
Maka sejak berlakunya UUJN peraturan perihal jabatan dan Hukum Notaris sudah terkodifikasi di dalam satu Undang-Undang saja. Tentu saja kondisi seperti ini membuat hukum menjadi lebih efisien dengan harapan dapat mendukung aktifitas perikatan menjadi lebih teratur dan ada kepastian hukum, dalam rangka menuju kepada tujuan hukum itu sendiri yang salah satunya adalah keadilan.
[1]sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No.101
[2]A.Pitlo dalam Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung: PT. Refik Aditama, 2007) hlm. 2